Day4 of 30DJC

 


Jumat, 21 Desember 2012.

Masih kuingat betul apa yang terjadi hari itu. Hari di mana pertama kalinya aku merasa sedih akan kehilangan. Hari di mana pertama kalinya aku merasakan sakit akan ditinggal pergi. Satu hari sebelum hari ibu, ada seseorang yang kehilangan ibunya untuk selama-lamanya.

Aku ingat, saat itu, aku masih semangat untuk masuk kelas sore yang tak lain adalah laboratorium sains. Akan tetapi, semangatku luntur tak bersisa saat mendapati yang keanehan. Pagi itu, aku sudah memesan pada Papa agar dibawakan bunga mawar sebagai bahan praktikku hari itu. Namun, yang datang menjumpaiku bukanlah Papa, melainkan suami dari tanteku. Melihatnya datang dengan wajah sedikit gelisah membuat perasaanku tak enak.

Walau sebenarnya aku sudah tahu apa yang hendak beliau sampaikan, tetapi aku tetap menolak pemikiran tersebut. Amarah dan kesedihan menyeruak. Aku menolak mendengar apapun yang hendak ia katakan dan hanya langsung berlari mencari keberadaan kakak beserta adikku. Rupanya suami tanteku itu tengah mengurus izin untuk kami bertiga untuk pulang. Tanpa memprotes sedikit pun, kami digiring pulang olehnya. Tak ada tangis di sepanjang perjalanan. Hanya ada rasanya tak percaya dan bingung.

Begitu sampai di rumah, kami langsung mandi dan berganti dengan pakaian yang sudah disiapkan—kaus dengan warna biru gelap. Kaus yang menandakan bahwa keluarga kita dari pihak Papa ada yang meninggal.

Saat itu, aku marah sekali. Marah pada nenek dan juga marah pada sekolah. Aku ingat dengan jelas bahwa Nenek berjanji akan menginap di rumah setelah sembuh. Ya, saat itu, nenek memang tengah sakit. Di hari Minggu sebelumnya, kami menginap di rumah abangnya papa—tempat tinggal nenek. Akan tetapi, begitu menyadari bahwa janji itu tak akan terwujud lagi sampai kapan pun, membuatku begitu marah dan jengkel.

Aku marah pada sekolah yang tak kunjung meliburkan kami padahal kebanyakan sekolah sudah meliburkan anak didiknya. Pernah terselip di dalam benakku, andai saja aku berani mengambil keputusan untuk bolos demi mendatangi nenek dan mengambil risiko dimarahi. Andai saja saat itu sekolah sudah liburan semester ganjil, maka aku dapat bertemu dengan nenek. Andai saja tabulasi nilai lebih cepat keluar. Namun, berandai-andai tak akan dapat menyelesaikan masalah apapun. Rasa sakit dan pahit akan tetap ada.

 #30daysjournalingchallenge
#day4

0 comments:

Posting Komentar