Day5 of DJC

 

Hmm ....
Masa kecil favorit, ya? Kalau boleh jujur, tak banyak memori yang kuingat mengenai masa kecilku. Entah karena masa kecilku biasa saja. Atau karena memang kapasitas otakku yang terlalu rendah. Mungkin yang kedua lebih tepat. Hehe ....

Memori yang masih kuingat dengan jelas hanya memori tentang aku yang bermain bersama kakak, adik, dan beberapa sepupuku di belakang rumah nenek dari pihak mama. Dan juga takut ke rumah abangnya papa ketika musim libur semester telah tiba karena takut dimarahi nenek dari pihak papa.

Memori-memori yang sudah memudar seperti dikejar-kejar bebek akibat mengumpulkan telur mereka. Saat kecil, nenek beternak bebek. Jadi, terkadang kami ikut ke kandang bebek untuk membantu mengumpulkan telur.

Ada juga memori lainnya yang benar-benar hanya tersisa sedikit. Bermain di rumah abang papa yang kedua. Abang papa yang kedua, dulunya memiliki peternakan babi dan juga ayam (sampai saat ini, peternakan ayamnya masih ada, tetapi peternakan babinya sudah lama sekali tutup). Kami—aku, kakak, dan adik—pernah mencoba membantu membersihkan kandang babi yang baunya luar biasa.  Pernah juga bermain di kandang ayam yang aromanya tak kalah bau dari kandang babi.

Dari semua kenangan yang ada di atas, tak ada satu pun dari mereka yang tak kusukai. Semuanya menyenangkan. Akan tetapi, ada satu memori yang tak begitu bagus namun melekat cukup kuat di dalam ingatanku. Kenangan yang walau tak begitu bagus, tetapi menurutku sangat amat berharga dan tak akan pernah kulupakan seumur hidupku.

Saat itu, umurku sekitar 12 tahun. Kami tengah mengalami kesulitan keuangan dan Mama bilang bahwa salah satu di antara aku atau kakakku saja yang bisa melanjutkan ke SMP. Awalnya mendengar itu, kami menangis. Jujur, aku tak tahu harus bagaimana. Namun, memikirkan kakakku sudah terlambat sekolah satu tahun agar bisa berada di angkatan yang sama denganku membuatku memutuskan agar dia saja yang sekolah. Selain itu, dia juga lebih rajin dibandingkan diriku.

Apalagi mengingat Mama mengatakan akan mengusahakan satunya lagi untuk sekolah di tahun depan. Aku menawarinya sebuah win-win solution—menurutku, tetapi mungkin tidak baginya. Aku bilang padanya agar dia saja yang sekolah karena dia yang lebih rajin di antara kita berdua, lalu setelah pulang sekolah dia mengajariku. Dengan begitu, walau satu orang yang bersekolah dua orang yang mendapat ilmunya.

Dia menolak. Tentu saja. Dia kakak terbaik yang pernah ada. Dia bilang bahwa aku saja yang sekolah karena aku lebih pintar. Memang nilai akademisku lebih tinggi darinya sedikit walau aku tergolong murid yang amat sangat malas. Aku jarang mengerjakan tugas, bahkan di saat ulangan pun. Sepuluh menit sebelum ulangan, aku baru mulai sibuk menghapal pelajaran yang akan diujiankan.

Aku menolak. Kami berakhir dengan berdiam-diaman sepanjang malam akibat pertengkaran tersebut. Aku tahu, walau dia tak mengeluarkan sebuah suara pun, dia sedang menangis hingga tertidur malam itu karena kondisiku juga sama. Walau aku malas, tetapi begitu terbayang tak bisa bersekolah lagi aku merasa sedih dan juga sesak. Akan tetapi, aku tak mungkin meminta kakakku untuk mengalah padaku, bukan? Dia sudah terlalu sering mengalah pada adik-adiknya. Dan untuk hal ini, menurutku dia boleh sedikit lebih egois.

Namun, dia tidak. Dia tidak egois sama sekali. Dia lebih mementingkan adiknya daripada dirinya. Dia kakak yang hebat. Satu-satunya kakak terbaik di dunia ini. Beruntung, saat itu berakhir dengan baik. Kami berdua bisa melanjutkan sekolah ke SMP dengan uluran tangan dari abang Papa yang ketiga.

#30daysjournalingchallenge
#day5

 

0 comments:

Posting Komentar