Diandra menatap kertas itu dengan wajah lesu. "Apa-apaan ini? Berengsek! Dasar orang kaya! Mentang-mentang perusahaan gede. Tukang tipu. Argh .... Coba aja mukul orang sampe babak belur gak bakal ditangkep polisi, bakal aku tabokin bolak-balik mereka sampe aku puas. Sialan," umpatnya setelah masuk ke dalam bilik kamar mandi.
Ingin rasanya ia menangis sekarang. Akan tetapi, ia tahu itu tak ada gunanya sama sekali, ia memutuskan untuk tak melakukannya. Selain itu juga, ia hanya ingin menjaga harga dirinya yang masih tersisa setelah diinjak-injak oleh mereka sedemikian rupa.
Menepuk pipinya dua kali, lalu menarik kedua sisi pipinya hingga membuat mulutnya melebar membentuk senyuman—atau lebih tepatnya seringaian. Ia bergumam pelan, "Ya, sudah. Toh, ini memang keputusanku. Tak ada yang perlu kusesali. Yang perlu kulakukan sekarang hanya bangkit dan mulai berlari kembali. Tak masalah."
Setelah meyakinkan dirinya sekali lagi, ia keluar dari bilik toilet dan mencuci tangannya. Kemudian ia kembali duduk di kubikelnya seolah tak terjadi apapun. Matanya fokus menyelesaikan pekerjaannya yang tersisa.
Begitu bel pulang berbunyi, tubuh yang jiwanya telah melanglang buana itu pun beranjak dari kubikelnya. Sejujurnya, walaupun ia terlihat begitu tenang saat ini, hatinya sangat kacau. Ia sungguh bingung bagaimana caranya ia menyampaikan berita buruk itu pada ibundanya tercinta. Jika saja, ia bulan lalu menerima tawaran temannya untuk melamar pekerjaan di tempat temannya bekerja, mungkin saja saat ini ia tak akan terancam menjadi pengangguran.
Tin!
Gadis itu terlonjak kaget saat jiwanya ditarik paksa menginjak Bumi. Ia menatap ke arah kirinya, sebuah mobil merek BMW berwarna hitam berhenti tepat disebelahnya tanpa menyisakan celah semili pun. Ia segera berjalan mundur dan membungkukkan badannya sebagai tanda permintaan maaf.
Mobil tersebut pergi setelah membunyikan klakson panjang yang memekakkan telinga dan mungkin klakson itu bisa diartikan sebagai tanda kesal si pengemudi. Gadis itu meringis saat beberapa pejalan kaki dan juga pengendara kendaraan lainnya menatapnya iba.
Begitu sampai di depan rumah, gadis itu hanya memandang gagang pintu dengan pandangan ragu. Ia belum siap bertemu dengan ibunya. Setelah belasan menit berdiri di depan pintu dengan bimbang, akhirnya ia memutuskan untuk membalikkan badan dan berjalan entah ke mana.
Belum jauh ia berjalan, sebuah suara lembut nan hangat menghentikan ayunan langkahnya.
"Diandra? Kok gak jadi masuk? Udah lama loh kamu berdiri di luar. Kok malah pergi lagi?"
Diandra mematung kaget. Sungguh, ia tak menyangka sang mama sudah tahu akan kepulangannya. Diandra menghela napas pasrah. Ia membalikkan badannya dan berjalan masuk ke dalam rumah.
"Aku pulang," ucap Diandra lesu begitu kakinya masuk ke dalam rumah. Gina—ibunya—tersenyum lembut dan mengusap punggungnya lembut.
"Selamat datang! Nah! Ayo bersih-bersih. Mama bakal masakin makan malam buat kamu. Kamu belum makan, 'kan?" tanyanya lembut.
Air mata Diandra hampir mengalir tanpa tahu malu. Beruntung ia sempat mencegahnya dengan mendongakkan kepalanya ke atas. Diandra menggeleng pelan. "Gak usah, Ma. Diandra gak lapar. Lagi gak mau makan. Mama sendiri udah makan?"
"Udah, Sayang. Ya, udah. Kamu sana bersih-bersih. Kamu bau banget tau? Kayak bangkai," ledek Gina membuat sebuah senyum tipis terbit di wajah putrinya.
Diandra segera berjalan menuju ke kamar mandi setelah mengambil baju ganti. Ia terus mengguyur air ke kepalanya membiarkan air menyamarkan air matanya. Entah sudah berapa lama ia berada di kamar mandi dengan terus mengguyur kepalanya—hingga menghabiskan air bak setengahnya—sampai Gina mengetuk pintunya.
"Dra, udah belum? Kok hari ini lama?" tanya Gina khawatir.
Diandra pun menghentikan guyurannya. Sadar akan pemborosan yang dilakukannya, ia pun menyambar handuk dan mengeringkan tubuh. "Iya, Ma. Sebentar."
Saat keluar dari kamar mandi, Diandra agak kaget dengan keberadaan sang mama di depan pintu dengan wajah khawatir. Diandra segera memeluk sang mama erat.
Gina tak bertanya apapun. Ia hanya membalas pelukan itu sama eratnya sambil sesekali menepuk punggung anak gadisnya lembut.
"Ma, Andra harus gimana?" Isakan Diandra lolos begitu Gina memeluk tubuhnya. Rasanya sangat hangat, nyaman, dan menenangkan.
Gina menepuk-nepuk punggung Diandra lembut. "Coba kamu ceritakan dulu apa yang mengganjal. Biar Mama bisa tahu mau kasih Andra saran apa," pintanya lembut.
"Mama tahu, 'kan? Kalau aku udah ngajuin pengunduran diri?" Diandra mengurai pelukannya dan mengekori sang mama yang berjalan menuju ruang tamu. Gina mengangguk menjawab pertanyaan Diandra.
"Katanya mereka bakal berhentiin kamu setelah dapat pengganti kamu, 'kan? Lalu apa masalahnya, Sayang?"
Melihat tatapan lembut nan hangat milik Gina, Diandra kembali menangis tersedu-sedu. "Maafin, Andra, Ma. Maafin, Andra." Tak ada kata lain selain 'maaf' yang bisa diungkapkan oleh Diandra saat ini.
Walau bingung masalahnya di mana, Gina tetap bersikap tenang. Ia menunggu dengan sabar hingga Diandra tenang dan bisa bercerita kembali.
Lima belas menit lamanya, Diandra hanya bisa meminta maaf dan dijawab 'tidak apa-apa' oleh sang ibunda. Tangisnya mulai mereda. Ia menatap sang mama sendu dan kembali bertanya, "Andra harus gimana, Ma? Mereka ... tanpa pemberitahuan apapun ... Andra berhenti. Tiga hari lagi, Ma. Kenapa gitu?"
Gina membelalak tak percaya. Pantas saja putrinya begitu bingung dan sedih. Ternyata perusahaan tempatnya bekerja sudah menerbitkan surat untuk pemberhentiannya. Dan itu akan terjadi dalam waktu 3 hari ke depan.
"Gak, apa, Sayang. Kalau sudah berhenti nanti. Kamu fokus aja dulu ke kuliahmu untuk sementara. Lagian sekarang kan kamu lagi nyusun, 'kan? Kalau soal pekerjaan, pelan-pelan aja carinya. Nanti pasti dapat. Dan mudah-mudahan lebih baik daripada yang ini. Ya?" Gina membelai rambut Diandra lembut.
Diandra mengeratkan pelukannya pada sang mama. Sungguh, ia sangat bersyukur memiliki mama yang sangat pengertian. Walau keadaan ekonomi mereka tengah sulit saat ini, mamanya tak marah padanya sama sekali. Malah mamanya menyemangatinya.
"Makasih, Ma. Andra sayang mama," ucapnya sembari mengurai pelukan hangat itu ketika ia merasa tenang sepenuhnya. Ia mengecup pipi Gina dan menatap Gina penuh permohonan, "Tidur bareng, ya, Ma?"
Gina mengacak rambut Diandra dan tertawa kecil. "Aduh, anak mama yang manja. Ayo!"
Hari terakhir bekerja Diandra lalukan seperti biasa. Bekerja semaksimal mungkin agar pekerjaan yang akan terbengkalai nantinya tidak terlalu banyak dan berat untuk orang baru yang akan menggantikan posisinya. Sepulangnya, ia merasa lebih ringan dan puas saat target kerjanya tercapai. Ia juga sudah menata perasaannya dan pikirannya. Saat ini, ia akan fokus pada skripsinya sembari mencari lowongan pekerjaan yang baru.
Spechlesss ... gak bisa berkata kata ... bikin penasaran kelanjutannya ...
BalasHapusAdakah lanjutannya? sepertinya bagus nih buat dijadiin novel
BalasHapusManteup... Bagus syekalii
BalasHapusCeritanya bagus. Mengalir jadi enak bacanya. Sukaa
BalasHapusPaling suka pas monolognya "Tak ada yang perlu kusesali. Yang perlu kulakukan sekarang hanya bangkit dan mulai berlari kembali." 😆😆
BalasHapusMbaak....ada part selanjutnya...terlalu terbaw ceritanya tiba2 udah sampe akhir.. huhuuhh
BalasHapusLanjutin kak.. novelkan..
BalasHapusHmmm penasaran selanjutnya tapi judulnya bikin parno 😂 semoga nggak ada yang berhenti ditengah jalan lagi 😂
BalasHapusSemangat Diandra .. Gak boleh cengeng harus stronggggg
BalasHapusWih, mantap
BalasHapus