“Hana, selesai kelas nanti ke ruangan Miss sebentar, ya?” ucap Kinara pada Hana yang baru saja menerima kertas ujiannya. Gadis kecil itu mengangguk paham. Lalu, kembali ke tempat duduknya—di belakang—dengan tenang.
Hana menatap kosong pada Kinara yang tengah menjelaskan materi mengenai present tense di depan sana. Hana mengambil pensilnya dan mulai mencoreti buku catatannya—mengopi segala hal yang tertulis di papan tulis ke dalam bukunya. Walau tak ada satu pun kata yang mengalir masuk melalui telinganya.
Kinara melirik anak Hana, anak didiknya, yang tengah sibuk mencatat tanpa minat. Ia bahkan tak yakin anak didiknya itu mendengarkan perkataannya atau tidak. Helaan napas panjang ia embuskan. Anak itu terlalu pendiam dan pasif. Ia sama sekali tak bersuara sedikit pun. Walau bukan anak yang nakal, tetapi ia merasa harus memperhatikan anak itu.
Ia yakin terdapat potensi di dalam anak tersebut. Akan tetapi, entah apa yang membuat anak itu enggan mengeluarkannya. Pokoknya hari ini ia harus mencari tahu apa akar masalah yang tengah dialami oleh gadis kecil itu. Begitu bel istirahat berbunyi, Kinara menatap Hana sejenak. Dilihatnya Hana masih sibuk mencoret buku catatannya—entah apa yang dituliskan di sana, ia sama sekali tak tahu.
“Hana?” panggilnya pelan. Gadis kecil itu mendongak dan menatap Kinara sedetik, lalu mengangguk patuh.
Kinara berjalan menuju ruang guru dengan Hana yang mengekorinya. Kinara berbalik menghadap Hana setelah meletakkan bukunya di atas meja. Ia menarik napas dalam dan menatap anak didiknya lembut. “Hana, kira-kira Hana tau gak kenapa Miss manggil Hana ke sini?” tanyanya lembut.
Hana menggeleng pelan. Kepalanya tertunduk menatap kedua kakinya yang tengah menendang-nendang kosong udara.
“Hana?” panggil Kinara lembut.
Hana diam—tak mengangguk maupun menggeleng. Ia masih tetap menatap bawah yang entah mengapa lebih menarik daripada wajah lembut sang wali kelas.
Kinara menghela napas panjang. Ia mencoba memanggil Hana dengan lembut sekali lagi. Namun, lagi-lagi dia tak menjawab. Ketika Kinara hampir saja menyerah menghadapi anak didiknya itu. Hanya memberikan respons yang membuatnya kaget.
“Karena Hana bodoh, Miss,” ucap Hana polos tanpa memandang Kinara.
Kinara mengusap lembut puncak kepala Hana. Tangannya bergerak turun membelai pipi gadis kecil itu. Lalu turun lagi hingga ke dagu gadis kecil itu. Perlahan, ia mengangkat wajah itu agar memandangnya. Kinara tersenyum miris saat melihat mata sipit itu menolak untuk menatapnya walau ia berusaha mengejar.
Lagi, Kinara menghela napas. “Hana, tidak sopan jika tak melihat mata lawan bicara saat berbicara. Apa kamu paham?”
Segera mata itu menatapnya takut. “Maaf, Miss.”
Kinara tersenyum lembut. Kini Hana telah berani menatap balik ke dalam matanya. Karena itu, ia yakin firasatnya benar adanya. Gadis kecil ini masih memiliki harapan. “Lalu, kata siapa kamu bodoh?”
Kedua tangan kecilnya meremas kedua sisi roknya gelisah. Kinara bisa melihat bahwa gadis kecil itu ingin sekali kabur darinya sekarang. Akan tetapi, ia tak bisa membiarkannya pergi begitu saja. Kinara mengambil napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan.
“Kamu tahu?” Kinara sengaja memberi jeda agar menarik perhatian gadis kecil itu. Dan berhasil. Hana bertanya pelan.
“Tahu apa, Miss?”
Kinara tersenyum, “Anak didik Miss tidak ada yang bodoh. Jadi kamu juga gak bodoh. Mengerti?”
Setitik keraguan bersarang di mata jernih gadis kecil itu. “Benarkah, Miss?”
“Tentu saja. Kamu cukup melakukan satu hal yang Miss kasih tahu. Kamu mau?” balas Kinara dengan yakin.
Hana mengangguk patuh membuat Kinara tersenyum senang dan mengutarakan permintaannya, “Kalau di kelas, Hana harus memperhatikan apa yang diterangkan oleh guru, ya. Kalau Hana mau sambil mencatat juga tidak apa-apa. Yang penting Hana harus dengerin penjelasan yang dijelaskan guru-guru. Kamu paham?”
“Ya, Miss. Hana paham,” jawab Hana sambil mengangguk patuh.
“Bagus. Sekarang kamu boleh kembali ke kelas. Ingat pesan Miss tadi, ya? Kamu harus memperhatikan penjelasan dari guru kamu,” pinta Kinara lembut.
Hana mengangguk patuh. “Ya, Miss. Hana ingat. Permisi, Miss,” ucap Hana sembari berjalan meninggalkan ruangan.
Kinara mengangguk puas. Saat Hana mencapai pintu, Kinara memanggilnya kembali hingga gadis kecil itu berjalan kembali ke arahnya dan menatapnya penuh tanya. “Kamu juga harus ingat satu hal lagi. Tidak ada murid Miss yang bodoh, jadi kamu tidak bodoh. Mengerti?”
Sekali lagi Hana mengangguk patuh. “Tidak ada murid Miss yang bodoh, jadi Hana gak bodoh,” ulang gadis itu sedikit bersemangat.
Selama dua bulan terakhir, Hana benar-benar menunjukkan peningkatan dan hal itu benar-benar membuat Kinara senang. Sekali lagi ia meminta Hana menemuinya.
“Ya, Miss?” tanya Hana begitu sampai di ruangannya.
Kinara tersenyum cerah dan mengangguk puas. “Kerja bagus, Hana. Lihat, ‘kan? Kamu bukan anak yang bodoh?”
Hana mengangguk mengiakan. Sebuah senyum tipis terbit di wajah mungil itu.
Kinara menepuk tangannya sekali agar perhatian Hana tertuju padanya sepenuhnya. “Sekarang, kamu bisa melakukan satu hal lagi untuk Miss?” tanyanya penuh harap.
Lagi-lagi, Hana hanya mengangguk patuh.
“Nah, mulai sekarang. Sepulang sekolah, Hana harus mengulang kembali pelajaran yang sudah diajarkan di hari itu. Bisa?” tanyanya lembut tanpa nada menuntut sama sekali.
Hana terdiam. Ia terlihat enggan. Melihat keengganan Hana, Kinara menghela napas berat. Ia merasa mungkin saja ia terlalu menekan gadis kecil itu. Hana kembali bersuara, “Kalau Hana gak mau ulang di hari itu, setidaknya Hana mau ‘kan kalau ngulang mata pelajaran yang akan diujikan satu hari sebelumnya?”
Hana masih terdiam. Gadis kecil itu terlihat berpikir. Beberapa menit kemudian, ia mengangguk pelan. “Hanya saat ujian saja ‘kan, Miss?” tanyanya pelan membuat Kinara tersenyum lega. Ia mengangguk menjawab pertanyaan polos itu hingga membuat gadis kecil itu tersenyum lega.
Setidaknya dia mau mengulangi pelajaran sebelum diujikan itu lebih baik daripada tidak sama sekali, pikir Kinara lega.
Saat hari pemberian rapor di semester genap datang. Kinara benar-benar tersenyum puas. Hana yang tadinya tak menunjukkan minat belajar sama sekali. Bisa meraih peringkat pertama. Kemajuan gadis itu bisa terbilang cukup pesat. Bagaimana tidak? Dari peringkat ke-30 di saat semester genap kelas 1, menjadi peringkat 15 saat semester ganjil kelas 2. Kemudian melesat menuju peringkat pertama di semester genap kelas 2.
“Kerja bagus, Hana. Selamat, ya!” Kinara memberikan rapor Hana dengan perasaan bangga. Ia juga menjabat tangan kecil itu sebagai ungkapan selamat.
Hana tersenyum senang. “Terima kasih, Miss. Ini semua berkat Miss juga. Kan Miss yang bilang kalau saya tidak bodoh makanya saya bisa jadi juara."
0 comments:
Posting Komentar