Senandung riang yang tak sengaja tertangkap oleh telingaku membuat bulu kudukku merinding. Aku menoleh ke sekeliling mencari tempat persembunyian. Sial bagiku bahwa tempat ini sangat terbuka. Kiri-kanan yang kutemui hanya pohon-pohon rindang dan beberapa tanaman bunga. Sangat tak mungkin jika menyuruhku bersembunyi di balik pohon. Tentu saja, itu akan ketahuan dengan cepat. Lebih tak mungkin lagi jika menyuruhku bersembunyi di tas pohon. Bagaimana caranya? Aku saja tak bisa memanjat pohon.
“Ael! Sini! Sini!” serunya riang sembari melompat-lompat kecil dan melambai-lambaikan tangannya semangat.
Tubuhku mendadak melemas seolah semua tenaga telah tersedot habis. Sekarang sudah terlalu terlambat mencari tempat persembunyian. Hanya ada satu cara agar aku bisa kabur secepatnya, yaitu menghadapinya dan menyelesaikannya secepat mungkin.
“Ah! Iya. Santai saja lah,” balasku sesantai mungkin sembari melangkah gontai ke arahnya. Wajahnya terlihat riang.
“Ada apa? Sepertinya hari ini hari yang baik, ya,” komentarku basa-basi. Semoga saja, tak busuk.
Kepalanya memutar, matanya menatap sekeliling dengan cermat seolah tengah mencari sesuatu. Aku hanya melihatnya tanpa minat sama sekali. Saat melihat senyum semringah miliknya, aku tahu bahwa ia telah menemukan apa yang ia cari. Tanpa mengucapkan apapun, ia menarik tanganku—memaksaku mengekorinya. Kami berhenti di sebuah bangku kayu berwarna putih gading dan duduk di sana.
“Ada apa?” Kembali kuulangi pertanyaanku tadi lantaran ia belum menjawabnya.
Sebuah senyum terpatri manis di wajahnya. “Aku bahagia. Hari ini, aku berbincang cukup lama dengan keluarga kecilku. Mama, papa, kakak, dan adik. Kami berbincang cukup lama mengenai aktivitas kami masing-masing. Dan kami juga saling men-support satu sama lain. Rasanya sangat senang.”
Tanpa bisa kutahan, senyumku pun ikut mengembang. Aku sepertinya bisa menerka bagaimana rasanya. Ya, hanya menerka saja. Bukan benar-benar mengerti karena aku tak pernah mengalaminya. Sepertinya itu akan hangat dan nyaman. Apa aku bisa merasakannya? Mungkin. Suatu saat nanti.
“Bagus, dong. Aku ikut senang,” ucapku tulus. Ya, hanya itu yang bisa kusampaikan. Aku tak tahu apa lagi yang bisa dibicarakan di situasi seperti ini.
Sebuah pekikan riang meluncur dari bibir yang tak begitu tebal, tetapi tak begitu tipis juga. Matanya berbinar senang. “Terima kasih. Kamu memang yang terbaik.”
Kepalanya mendongak, menatap langit biru cerah tanpa awan. Walau begitu, cuaca hari ini tak bisa terbilang panas atau pun dingin—sedang-sedang saja. Hangat dan nyaman, mungkin sama seperti perasaan yang tengah melingkupinya sekarang.
“Ah!” Tiba-tiba ia melompat berdiri. Aku tak mengikutinya, hanya menoleh menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Senyum yang terkembang di wajahnya semakin lebar. Saking lebarnya, aku takut bibirnya akan terkoyak hingga ke telinga.
“Sudah! Nanti bibir kamu koyak. Jangan menyeringai seperti psikopat gila!” komentarku dengan nada jenaka. Ia menghembuskan napas kesal hingga membuatku mengukir senyum tipis.
“Hari ini! Album baru dari idola K-Pop yang kusukai juga akan dirilis,” pekiknya senang. Aku tahu dia memang benar-benar bahagia. Binar senang di matanya terlihat begitu indah dan menyilaukan.
“Lalu, apa kamu beli album mereka kali ini?” tanyaku penasaran. Biasanya ia hanya mendengar lagu seorang idola secara acak. Belum pernah ia menggilai idola tertentu seperti sekarang ini.
Sebuah cengiran ia berikan. “Hehe … sepertinya yang kali ini tidak. Kantongku sedang sekarat dan butuh perawatan. Mungkin album yang sekali lagi,” ringisnya malu-malu.
“Selain itu, apa ada hal lain lagi yang membuatmu bahagia?” Buru-buru aku mengganti topik lantaran takut hal ini merusak kebahagiaanya.
Ia mengangguk dengan semangat. “Tentu saja ada. Aku bertemu dengan temanku yang paling baik dan selalu mendukungku kapan saja dan di mana saja. Ia juga tak segan memarahiku jika aku berbuat kesalahan. Ia selalu di sampingku dan tak pernah pergi dari sisiku walau aku tengah berada di kubangan lumpur sekalipun.”
Aku mengangguk-anggukkan kepala tanda paham dengan apa yang diucapkannya. Senyumku mengembang. “Bagus. Nah! Kalau nemu teman kayak gitu, jangan disia-siakan! Sekarang cari teman itu susah. Kalau cari musuh gampang. Tinggal kamu maki saja satu kata ke sembarang orang di jalan, otomatis orang itu akan menjadi musuhmu. Tapi, kalau kamu mengucapkan kata baik pada seratus orang, belum tentu di antara seratus orang itu ada yang bisa menjadi teman sebaik itu.”
Ia mengandeng lenganku dengan erat dan menyandarkan kepalanya di bahuku manja. “Tentu. Akan kuingat selalu nasihatmu itu, Sobat. Ngomong-ngomong, orang yang kubicarakan itu kamu.”
#30daysjournalingchallenge
#day22
0 comments:
Posting Komentar