"Ayo, jalan bareng!"
Sebuah lengan melingkar dengan nyaman di bahuku. Aku menoleh menatapnya tajam, lalu beralih menatap lengannya yang melingkar nyaman berulang kali tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Ia masih tak sadar—atau mungkin lebih ke tidak mau tahu—akan ketidaksukaanku.
Aku berdeham dengan keras. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Akan tetapi, tak digubris olehnya sama sekali. Lengannya masih bertengger nyaman di bahuku. Ia bahkan tak melirikku sedikit pun dan malah berjalan dengan riang sembari menyapa beberapa orang yang kami kenal.
Geram lantaran tak diacuhkan. Aku pun berhenti berjalan. Dan membuang lengannya dengan kasar. Kemudian, berjalan kembali dengan tenang seolah tak terjadi apapun.
"Hei! Kasar banget, sih," protesnya tak terima sembari berlari mengejarku. Aku memilih untuk diam. Sama sekali tak berminat menanggapinya sama sekali. Menurutku, menanggapinya hanya akan membuang-buang tenaga saja. Lebih baik aku fokus pada laguku yang terputar melalui earphone milikku.
Langkahku terpaksa berhenti karena ia berdiri di depanku sembari merentangkan tangannya lebar-lebar. Pipinya menggembung kesal. Matanya menatapku tajam hingga membuatku menghela napas lelah.
"Ayo, jalan-jalan!" ajaknya yang terdengar seperti perintah yang tak boleh dibantah sama sekali.
Aku memutar bola mata kesal. Gigih sekali gadis ini. Mengesalkan. Tak tahukah ia bahwa jalan keluar bersama itu tak menyenangkan—apalagi jika keluar secara beramai-ramai.
"Gak!" tolakku tegas sebelum ia menerorku lebih jauh lagi.
Aku maju selangkah dan ia mundur selangkah. Frustrasi. Aku pun melangkah ke kanan dan langsung dihadangnya dengan langkah cepatnya ke kanan. Kedua tangannya masih setia ia rentangkan lebar-lebar. Melihat dia yang kekeh, aku pun tak mau kalah. Dengan cepat aku berkelit ke arah kiri yang langsung diikutinya. Aku berhenti sejenak dan menganalisa situasi.
Setelah yakin, aku pun menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan. Kuangkat kakiku dan kuarahkan ke kiri, begitu ia mengekori gerakanku. Secepat mungkin aku bergerak ke arah sebaliknya. Berhasil! Aku berhasil mengecohnya dan segera kabur.
"Woi! Monyet!" umpatnya kesal sembari mengejarku. Ia menyumpah tanpa suara.
Karena terlalu senang, aku pun salah membelokkan kakiku hingga ke jalan buntu.
"Kapok kamu!" ledeknya puas membuatku semakin lesu.
Melihatnya yang semakin lama semakin mendekat, aku tahu bahwa harapanku untuk kabur kali ini sudah tak ada. Apalagi, dia bukan seekor keledai yang akan jatuh ke lubang yang sama sebanyak dua kali. Kutarik napas panjang untuk memantapkan hati menghadapi kegigihannya itu.
"Nanti tanggal 18 Oktober kita keluar. Pergi ke Berastagi. Jalan-jalan. Tempat dudukmu sudah kupesan," pidatonya membuatku membelalak tak terima. Tentu saja. Apa-apaan itu? Aku bahkan belum mengiakan ajakannya. Bagaimana bisa dia mengumumkan jadwalnya begitu saja?
"Dasar sinting!" makiku kesal. Napasku memburu, tanganku mengepal kuat di kedua sisi tubuhku. "Gak mau! Enak aja! Yang bilang mau itu siapa? Hah?!" omelku geram.
Sebuah senyum miring ia tampilkan. Ia mengacungkan tangannya tanpa rasa bersalah sama sekali. Terbukti dengan matanya yang berbinar puas. "Tentu saja aku. Pokoknya kita berdua pergi. Titik. Gak ada bantahan."
Aku mengacak rambut frustrasi. Gadis gila ini! Benar-benar pintar sekali membuat darahku mendidih. Ingin rasanya aku membotakinya saat ini juga, tetapi aku harus tenang. Gadis gila ini akan semakin menggila jika lawannya kesal.
"Gak bisa. Kamu tahu, 'kan? Kalau aku gak suka pergi ramai-ramai. Seharusnya kamu yang paling tahu dibanding siapapun kalau aku gak nyaman kalau aku pergi dengan kelompok yang terlalu ramai isinya," jelasku pelan hampir putus asa.
"Tenang saja!" Ia menepuk-nepuk pundakku ringan. Tenang saja katanya? Wah! Dia ini benar-benar minta dihajar, ya?
Belum sempat aku menyemburnya dengan rentetan kata-kata geram. Ia tersenyum lebar sembari berucap santai, "Kita gak banyak orang, kok. Paling cuma 5-6 orang aja. Jadi, ayo, pergi! Aku udah bilang loh kalau kamu ikut. Jatah kamu juga udah kami siapkan. Ya?" mohonnya sembari menatapku penuh harap.
Aku berusaha sebisa mungkin melarikan tatapanku agar tak menatap ke dalam mata itu. Mata yang selalu menjerumuskanku dalam setiap permohonan anehnya. Sial! Dia begitu gigih mengejar mataku hingga mata kami berserobok. Dan aku pun tak kuasa menolak permintaannya lagi.
#30daysjournalingchallenge
#day23
0 comments:
Posting Komentar