Percaya yang mana?

"Gue dengar ... hubungan lo sama teman sekelas lo gak baik?" tanya Vian pada Dina yang tengah mengunyah keripik kentang.

Dina menoleh ke arah pintu masuk. Di sana Vian berdiri sambil menyenderkan badannya di daun pintu dengan gaya bak seorang model. Dian mengangkat sebelah alisnya heran. "Kok bisa masuk? Siapa yang kasih izin?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaan sabahatnya itu.

Vian mengedikkan kepalanya pada Keysha—kakak Dian—yang tengah menonton di luar. Dian menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Ia kemudian menatap sahabatnya curiga. Biasanya pemuda itu hanya akan mendatanginya jika ada maunya saja.

"Terus? Lo ngapain di sini?" Dian kembali memfokuskan dirinya pada laptopnya yang tengah menampilkan drama korea berjudul Memorist.

Vian berjalan mendekat. Ia memilih duduk di atas tempat tidur Dian dan menatap Dian yang seolah tak tertarik pada dirinya. Ia berdeham keras beberapa kali agar Dian fokus padanya.

Dian yang merasa terganggu pun, menghentikan aktivitas menontonnya dan menatap Vian dengan kesal. "Apa?" tanyanya galak.

"Bantuin bikin makalah dong. Lo kan lebih jago kalau soal riset," ucap Vian tanpa rasa bersalah sama sekali.

Dian tersenyum miring. "Bayarannya apa?"

Vian menepuk kedua tangannya puas. "Gue kabulin satu permintaan lo. Besok ketemuan di kantin kampus. Kita kerjain bareng. Oke?"

Dian yang memang merasa suntuk dan butuh hiburan pun mengiakan permintaan tersebut tanpa pikir panjang. Ia pun kembali melanjutkan acara menontonnya karena ia mengira temannya itu akan pergi.

"Jadi ... apa yang bikin hubungan lo sama teman kelas lo gak bagus?" tanya Vian sambil merebahkan tubuhnya di atas kasur Dian dengan menggunakan kedua lengannya sebagai bantal.

Dian memutar bola matanya malas. Mood menontonnya hancur sudah. Ia mematikan laptopnya dan duduk menghadap temannya itu. Sebelah alisnya terangkat dan ia tersenyum sinis. "Jadi ... apa rumor yang lo dengar mengenai masalah ini?"

"Ah ...  itu. Katanya lo gak adil. Lo nendang temen sekelompok lo karna ga ngerjain tugas, tapi lo gak nendang senior yang rumornya anak dekan walau dia gak ngerjain tugas. Terus katanya lo lakuin itu biar lo bisa pertahanin beasiswa lo," balas Vian sambil meneliti perubahan mimik Dian.

Dian tertawa kecil. Ia menggelengkan kepalanya tak percaya. "Ah! Dasar! Kocak banget."

Vian mengangkat sebelah alisnya bingung. "Gak ada pembelaan?"

Dian menggeleng tegas. "Biarin aja. Manusia hanya akan mempercayai apa yang ingin mereka percayai."

Vian mengangguk paham. Beginilah watak temannya ini. Ia tak akan membuang tenaganya untuk meluruskan pemikiran orang-orang terhadapnya. Khas seorang Dian sekali. Vian bangkit dari posisinya dan menatap Dian sejenak.  "Gue pamit," pamitnya, lalu berjalan gontai keluar.

"Jadi? Lo percaya yang mana? Rumor? Atau gue?" Pertanyaan tiba-tiba Dian menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan menatap Dian dengan senyum misterius.

"Manusia hanya akan mempercayai apa yang ingin mereka percayai," ulang Vian dengan mimik serius. "Gue cabut!" Vian keluar dari rumah tersebut setelah pamit pada Keysha.

****
"Yo! Rumor baru, Bos!" Vian yang menepuk pundak Dian yang tengah menyumpal telinganya dengan earphone. Dian mengangguk pelan. Ia tahu tindakannya tadi pagi memang bisa menyebarkan rumor tak sedap mengenai dirinya.

"Rumor apa lagi?" Dian menyeruput jus sirsak miliknya sembari menatap Vian dengan mimik tenang.

Vian terkekeh pelan. "Lo takut masuk kelas. Sekelas benci sama lo. Terus lo kabur ke kelas kakak lo."

Mendengarnya, Dian pun naik pitam. Boleh-boleh saja mereka menyebarkan rumor aneh tentangnya. Akan tetapi, menyebarkan rumor bahwa ia pengecut? Orang-orang itu sepertinya tak tahu diri dan perlu diberi pelajaran. "Siapa?" tanya Dian berusaha tenang.

"Cindy," balas Vian sambil mencomot kentang goreng Dian.

Dian mengangguk paham dan segera bangkit dari duduknya. Tahu apa yang akan dilakukan oleh Dian, Vian segera menahannya. "Jangan! Jangan cari masalah! Udahlah. Kayak biasa aja, stay cool," cegah Vian sembari menarik Dian duduk kembali.

Dian menurut. Vian segera menyodorkan jus sirsak pada gadis itu dan langsung ditegaknya habis. Tak berapa lama, mata Dian berkilat senang. Ia melihat teman dekat Cindy yang merupakan teman sekelasnya. Ia bangkit dan berjalan cepat menuju meja Satria. Sebuah gebrakan keras ia lakukan untuk melampiaskan amarahnya.

"Bilang sama teman lo yang ember itu! Kalau gak tau apa-apa, gak usah banyak bacot. Suruh dia perhatiin bacotnya itu sebelum gue sobek mulutnya. Ngerti?" ancamnya membuat Satria melotot ngeri.

Dian kemudian berjalan meninggalkan Satria yang masih membatu akibat syok. "Ah ... satu lagi." Dian berbalik dan menatap Satria tajam. "Kasih tau ke temen lo itu kejadian yang sebenarnya dan suruh dia lurusin rumor jelek tentang gue. Kalau gak ... lo tahu sendiri akibatnya," lanjutnya lagi dengan dingin.

0 comments:

Posting Komentar